Jumat, 08 Maret 2013

Makalah Teori Ikatan Valensi



MAKALAH
ikatan kimia

“TEORI ikatan valensi
OLEH
Kelompok 2
                KETUA                 :    ANJELINA ROSLINDA NAU
                   Anggota            :  
1.         AVANDER A. NUBAN
2.         DORTHEA M.W NAY
3.         GAUDENSIUS P.DE PASIONIS
4.         JACK F. HUWAE
5.         MARIA NOVANSIA APOLONIA
6.         MARTA GA BANI
7.         PETRUS NUMBA
8.         JACUB SADAM AKBAR
9.         TURNER Y. ASAMAI


PENDIDIKAN KIMIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2012
























KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami haturkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan berkat-Nya, kami dapat menyusun dan menyelesaikan Makalah berjudul ”Teori Ikatan Valensi”, sebagai tugas mata kuliah Ikatan Kimia ini tepat waktu.
Makalah ini berisi tentang penjelasan atau gambaran umum teori Ikatan Valensi, pembentukan senyawa kompleks berdasarkakn teori ikatan valensi ada yang tidak melibatkan proses eksitasi dan ada  yang melibatkan proses eksitasi, eksitasi dan pemasangan elektron-elektron,sifat magnetik senyawa kompleks yang berkaitan dengan teori iktan valensi, serta kelemahan teori ikatan valensi.
Tak lupa kami haturkan terima kasih kepada Bapak ,selaku dosen mata kuliah dan juga kami berterima kasih kepada semua pihak yang telah menyumbangkan pikiran dan materi, sehingga makalah ini dapat diselesaikan.
Tiada gading yang tak retak, begitu pula dengan makalah ini pasti banyak memiliki kekurangan. Makalah ini lebih mengungkapkan berbagai kekurangan kami. Demi kesempurnaan makalah ini, kami sangat mengharapkan saran atau masukan yang konstruktif.


      Kupang, 02 Desembe2012


Tim Penyusun




DAFTAR ISI

Kata pengantar . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .  .  . . . . . . . . . . .  . . . . . .  . . . . . . . . . . . . I
Daftar isi   . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .  .  . . . . . . . . . . .  . . . . . .  . . . . . . . . . .  . . . . . II                            

BAB 1  PENDAHULUAN
A.              Latar belakang  . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .  .  . . . . . . . . . . . . . . . . . .1
B.              Rumusan masalah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .  .  . . . . . . . . . . . . . . .  2
C.              Metode penulisan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .  .  . . . . . . . . . . . . . . . . 3

BAB 2 PEMBAHASAN
1.1  Pengertian teori ikatan valensi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .  . . . . .  . .  .4
1.2  Struktur Senyawa Koordinasi atau Senyawa Kompleks. . . . . . . . . . . . . . . . .   . . .6
1.3  Pembentukan Senyawa Kompleks . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .  . .. .. . . . .. . . 10
1.4  Prinsip Keelektronetralan Dan Ikatan Balik . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . 18
1.5  Kelemahan Teori Ikatan Valensi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .  . . . . . .. . . . . . 26

BAB 3  PENUTUP
A.    Kesimpulan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .  .  . . . . . . . . . . . .  .  . . . . . . .  .  . . . . .27

Daftar pustaka . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .  .  . . . . . . . . . . . .  .  . . . . . . .  . . . . . . . . . .28







BAB 1
PENDAHULUAN

A.             LATAR BELAKANG
                   Model VSEPR yang sebagian besar didasarkan pada struktur Lewis, memang dapat menjelaskan dengan baik mengenai geometri molekul, namun teori lewis tidak secara jelas dapat menjelaskan mengenai mengapa terjadi ikatan kimia, misalnya ketika menggambarkan ikatan tunggal antar atom H dalam H2 dan antar atom F dalam F2. Teori Lewis menggambarkan ikatan-ikatan ini dengan cara yang sama sebagai perpasangan dua elektron. Tetapi kedua molekul ini memiliki energi ikatan dan panjang ikatan yang berbeda. Hal ini dan berbagai fakta lainnya dapat dijelaskan dengan menggunakan teori ikatan valensi yang menggunakan kajian mekanika kuantum.
Teori ikatan valensi mengasumsikan bahwa sebuah ikatan kimia terbentuk ketika dua valensi elektron bekerja dan menjaga dua inti atom bersama oleh karena efek penurunan energi sistem, teori ini berlaku dengan baik pada molekul diatomik. Pada teori ikatan valensi ini, elektron-elektron dalam molekul menempati orbital-orbital atom dari masing-masing atom.
 Dalam teori Lewis, pembentukan molekul H2 dari atom H digambarkan ikatan H-H dengan perpasangan dua elektron pada atom-atom H. Dalam kerangka teori ikatan valensi, ikatan kovalen H-H dibentuk melalui daerah dalam ruang yang digunakan bersama oleh kedua orbital 1s dalam atom-atom H, yang dalam konsep ini disebut tumpang tindih elektron. 
Konsep elektron valensi dapat diterapkan tidak hanya dalam molekul H2, tetapi juga dalam molekul diatomik lain, misalnya HF. Dalam setiap kasus, teori ikatan valensi menjelaskan perubahan energi potensial ketika jarak antar atom yang bereaksi berubah. Karena orbital-orbital yang terlibat tidak selalu sama dalam setiap kasus, maka dapat dijelaskan mengapa energi ikatan dan panjang ikatan dalam beberapa molekul diatomik dapat berbeda, sesuatu yang tidak dapat dijelaskan dengan teori Lewis.

B.              RUMUSAN MASALAH
Penulisan makalah berjudul “ TEORI IKATAN VALENSI “ ini bertolak dari beberapa masalah yakni:
1.      Jelaskan pengertian teori ikatan valensi !
2.      Bagaimana struktur senyawa koordinasi atau senyawa kompleks dalam teori ini?
3.      Bagaimana pembentukan senyawa kompleks?
4.      Bagaimana prinsip keelektronetralan dan ikatan balik?
5.      Apa dari kelemahan teori ikatan valensi?


C.             METODE PENULISAN
Makalah berjudul “TEORI IKATAN VALENSI” ini, disusun dan ditulis berdasarkan beberapa tinjauan metode, yaitu review buku (meringkas kembali materi tentang struktur atom) dan studi literatur (mencari informasi yang berkaitan dengan pokok masalah dari buku-buku sumber) serta dengan menggunakan media internet.
















BAB II
PEMBAHASAN


2.1  PENGERTIAN TEORI IKATAN VALENSI
           Teori ikatan valensi merupakan teori mekanika kuantum pertama yang muncul pada masa awal penelitian ikatan kimia yang didasarkan pada percobaan W. Heitler dan F. London pada tahun 1927 mengenai pembentukkan ikatan pada molekul hidrogen. Selanjutnya, teori ini kembali diteliti dan dikembangkan oleh Linus Pauling pada tahun 1931 sehingga dipublikasikan dalam jurnal ilmiahnya yang berjudul “On the Nature of the Chemical Bond”. Dalam jurnal ini dikupas hasil kerja Lewis dan teori ikatan valensi oleh Heitler dan London sehingga menghasilkan teori ikatan valensi yang lebih sempurna dengan beberapa postulat dasarnya, sebagai berikut:
1)      Ikatan valensi terjadi karena adanya gaya tarik pada elektron-elektron yang tidak berpasangan pada atom-atom.
2)      Elektron - elektron yang berpasangan memiliki arah spin yang berlawanan.
3)      Elektron-elektron yang telah berpasangan tidak dapat membentuk ikatan lagi dengan elektron-elektron yang lain.
4)      Kombinasi elektron dalam ikatan hanya dapat diwakili oleh satu persamaan gelombang untuk setiap atomnya.
5)      Elektron-elektron yang berada pada tingkat energi paling rendah akan membuat pasangan ikatan-ikatan yang paling kuat.
6)      Pada dua orbital dari sebuah atom, orbital dengan kemampuan bertumpang tindih paling banyaklah yang akan membentuk ikatan paling kuat dan cenderung berada pada orbital yang terkonsentrasi itu.
            Keenam postulat dasar di atas disimpulkan dari sejumlah penelitian terhadap pembentukkan ikatan pada molekul hidrogen berdasarkan persamaan fungsi gelombang elektron pada masing-masing orbital yang berikatan.
             Dalam teori ikatan valensi, yang menjadi titik tekannya yaitu fungsi gelombang elektron-elektron yang berpasangan dibentuk dari tumpang tindih fungsi gelombang pada masing-masing orbital dari atom-atom yang berkontribusi dan saling terpisah.
Jika terdapat satu elektron pada masing-masing dua atom H yang berlainan maka kemungkinan fungsi gelombang pada tiap sistem adalah sebagai berikut:
Ψ=χA(1)χB(2)...
Ψ=χA(2)χB(1)...
keterangan:
 χA dan χB adalah orbital-orbital 1s pada atom A dan B. Sementara angka 1 dan 2 merepresentasikan elektron yang berikatan dengan proton pada masing-masing atom A dan B.
            Ketika kedua atom H berada pada keadaan yang sangat dekat, kita tidak dapat mengetahui apakah elektron 1 terikat pada atom A dan elektron 2 terikat pada atom B atau justru sebaliknya, sehingga deskripsi yang paling mungkin adalah membuat dua fungsi gelombang pada kedua sistem yang mungkin terjadi. Saat kedua kemungkinan ini disatukan dalam gelombang superposisi maka penjelasan yang lebih baik adalah kombinasi linear dari keduanya.
Ψ=χA(1)χB(2)+χA(2)χB(1)...
Fungsi di atas merupakan fungsi gelombang untuk ikatan H-H. Kedua fungsi ini berinterferensi konstruktif sehingga terjadi kenaikkan amplitudo di daerah fungsi gelombang dalam nukleus (inti). Untuk menjelaskan lebih rinci digunakan prinsip Pauli yang menyatakan bahwa hanya elektron-elektron dengan spin berpasangan yang dapat dideskripsikan oleh fungsi gelombang di atas. Dari penjabaran di atas, dapat disimpulkan bahwa pada teori ikatan valensi, fungsi gelombang dibentuk oleh pasangan spin dari elektron-elektron pada kedua orbital atom-atom yang berikatan. Ikatan yang terjadi dari tumpang tindih ini adalah ikatan sigma (б).




            Berikut merupakan contoh formasi ikatan sigma dari orbital s dan p yang saling tumpang tindih:






2.2  Struktur Senyawa Koordinasi atau Senyawa Kompleks
Berdasarkan teori ini senyawa koordinasi dibentuk dari reaksi antara asam Lewis (atom atau ion pusat) dengan basa Lewis (ligan) melalui ikatan kovalen koordinasi antara keduanya. Di dalam senyawa koordinasi atau senyawa kompleks atom atau ion pusat memiliki bilangan koordinasi tertentu. Geometri senyawa koordinasi dengan bilangan koordinasi 2, 3, 4 dan 6 diberikan pada table di bawah ini
BK
Sruktur
Contoh
2
Linear
[Ag(NH3)2]+, [Ag(CN)2]-
3
Segitiga datar
[HgCl3]-, [AgBr(PPh3)2]
4
Tetrahedral
[NiCl4]2-, [Zn(NH3)4]2+
4
Bujur sangkar
[Ni(CN)4]2-, [Pt(CN)4]2-
5
Trigonal Bipiramidal
[CuCl5]3-, [Fe(CO)5]
6
Oktahedral
[CoF6]3-, [Fe(CN)6]3-
Tabel.1 Struktur senyawa koordinasi dengan bilangan koordinasi 2-6.
            Berdasarkan teori ikatan valensi, struktur senyawa koordinasi atau senyawa kompleks berhubungan erat dengan susunan dalam ruang dari orbital-orbital atom pusat yang digunakan dalam pembentukan ikatan. Untuk ion [Ag(CN)2]- misalnya, atom pusat ion tersebut adalah Ag+ dengan konfigurasi electron Ag+ : [Kr] 4d10 5s0 5p0. Pada pembentukan ion [Ag(CN)2]- dua ligan CN- mendonorkan dua PEB. Dua PEB tersebut menempati dua orbital kosong pada ion Ag+. Apabila dua PEB tersebut menempati orbital 5s dan salah satu orbital 5p dari ion Ag+, maka dua ikatan Ag-C yang ada akan memiliki panjang ikatan berbeda, ikatan yang menggunakan orbital 5s akan lebih pendek dibandingkan ikatan yang menggunakan orbital 5p. apabila dua PEB tersebut menempati dua dari tiga orbital 5p pada ion Ag+, maka dua ikatan Ag-C yang ada akan memiliki panjang yang sama dan sudut ikatan C-Ag-C sekitar 900, sehingga bentuk [Ag(CN)2]- yang diperoleh adalah V seperti ditunjukan pada gambar 1
           Dimana :                                                
a.       Tiga orbital 5p pada ion Ag+
b.      Ion [Ag(CN)2]- dengan huruf V bila p.ada pembentukannya menggunakan dua dari tiga orbital 5p yang ada pada ion Ag+.
c.       Ion [Ag(Cc. [NC2]- berbentuk linear berdasarkan hasil eksperimen.
            Fakta eksperimen menunjukan bahwa dua ikatan Ag-C yang terdapat pada ion [Ag(CN)2]- adalah sama panjang, yaitu 213pm, dan sudut ikatan C-Ag-C sebesar 1800.

                 ( a)
Huruf V
(b)



Linear
(c)



            Hal ini menunjukan bahwa pada pembentukan ikatan antara ion Ag+ dengan ligan CN-, ion Ag+ tidak menggunakan orbital 5s dan salah satu dari tiga orbital 5p, atau dua dari tiga orbital 5p yang ada, melainkan menggunakan dua orbital yang sama jenis dan tingkat energinya dan  posisinya berlawanan arah.
            Contoh lain adalah [NiCl4]2- dengan atom pusat Ni2- dan konfigirasi elektron Ni2+: [Ar]    3d8 4s0 4p0. Pada pembentukan kompleks ini, empat ligan Cl- mendonorkan empat PEB menempati orbital 4s dan tiga PEB lainnya menempati orbital 4p pada ion Ni2+, maka tiga ikatan Ni-Cl akan sama panjang dan satu ikatan Ni-Cl yang lain akan lebih pendek. Fakta eksperimen menunjukan bahwa kompleksini berbentuk tetrahedral dengan empat ikatan Ni-Cl yang ada sama panjang, yaitu 227 pm. Hal ini menunjukan bahwa pad pembentukan ikatan antara ion Ni2+ Dengan empat ligan Cl-, ion Ni2+ tidak menggunakan orbital 4s dan tiga orbital 4p yang ada, melainkan menggunakan empat orbital yang sama jenis dan tingkat energinya dan posisinya mengarah pada pojok-pojok tetrahedral.
            Pada pembentukan ikatan-ikatannya, atom pusat tidak menggunakan orbital s, p dan d, melainkan menggunakan orbital-orbital yang sama jenisnya dengan tingkat energi yang sama pula. Orbital-orbital ini disebut orbital-orbital hibrida (hybrid orbitals) yang diperoleh malalui proses hibridisasi (hybridization). Hibridisasi adalah proses pembentukan orbital-orbital hibrida dengan tingkat energi yang sama melalui kombinasi linear dari orbital-orbital atom yang berbeda dengan dengan tingkat energi yang berbeda pula. Orbital-orbital yang menglami hibridisasi tersebut adalah milik dari atom pusat. Gambar orbital-orbital hibrida adalah seperti pada gambar 2(a), akan tetapi dalam penggambarannya sering kali cuping (lobe) yang ukurannya lebih kecil (sebelah kiri) tidak digambarkan. Disamping itu, tanda fungsi gelombangnya (tanda + dan -) juga jarang diberikan seperti ditunjukan pada gambar 2(d).
          
Orbital hibrida yang terbentuk dari proses hibridisasi adalah sama dengan jumlah orbital-orbital atom yang terlibat dalam hibridisasi. Jenis hibridisasi, orbital-orbital atom yang terlibat dalam hibridisasi, jumlah dan jenis orbital-orbital hibrida yang terbentuk serta susunannya dalam ruang diberikan pada tabel 2.
Tabel 2 Jenis hibridisasi, orbital-orbital atom yang terlibat, jenis orbital yang terbentuk serta susunannya dalam ruang:
Hibridisasi
Orbital atom yang terlibat
Jumlah dan jenis orbital anng terbentuk
Susunan dalam ruang
Sp
1 orbital s dan 1 orbital p (pz)
2 orbital hibrida sp
Berlawanan arah
sp2
1 orbital s dan 2 orbital p (px,py)
3 orbital hibrida sp2
Mengarah pada pojok-pojok segitiga sama sisi
Sp3
1 orbital s dan 3 orbital p (px, py, pz)
4 orbital hibrida sp3
Mengarah pada pojok-pojok tetrahedral
dsp2
1 orbital d (dx2-y2), 1 orbital s dan 2 orbital p (px, py)
4 orbital hibrida dsp2
Mengarah pada pojok-pojok bujursangkar
dsp3 atau sp3d
1 orbital d (dz2), 1 orbital s dan 3 orbital p (px, py, pz)
5 orbital hibrida dsp3 atau sp3d
Mengarah pada pojok-pojok trigonal bipiramidal
d2sp3 atau sp3d2
2 orbital d (dx2-y2 dan dz2), 1 orbital s dan 3 orbital p (px, py, pz)
6 orbital hibrida d2sp3 atau sp3d2
Mengarah pada pojok-pojok oktahedral

               Tingkat energi orbital-orbital hibrida adalah  diantara tingkat energi orbital-orbital yang terlibat dalam hibridisasi. Untuk hibridisasi sp3, perbandigan tingkat energi orbital sp3 dan tingkat energi orbital s dan 3 orbital p ditunjukan pada gambar.
               Tingkat energi orbital-orbital hiibrida sp3 lebih rendah dibandingkan dengan tingkat energi orbital p, akan tetapi lebih tinggi dibandingkan tingat energi orbital s. disamping itu, tingkat energi orbital-orbital hibrida sp3 adalah lebih dekat ke tingkat energi orbital p dibandingkan ke tingkat energi orbital s karena jumlah orbital p yang terlibat dalam hibridisasi lebih bannyak dibandingkan orbital s.
               Hubungan antara bilangan koordinasi atom pusat, jenis hibridisasi dan struktur kompleks diberikan pada tabel 3.
Tabel 3 bilangan koordinasi (BK) atom pusat, jenis hibridisasi dan struktur kompleks
BK
Hibridasasi
Struktur kompleks
Contoh
2
Sp,
Linear
[Ag(CN)2]-
3
sp2
Trigonal planar
[HgCl3]-
4
sp3
Tetrahedral
[NiCl4]2-
4
dsp2
Bujur sangkar
[Ni(CN)4]2-
5
sp3d
Trigonal bipiramidal
[CuCl5]3-
5
dsp3
Trigonal bipiramidal
[Fe(CO)5]
6
sp3d2
Octahedral
[CoF6]3-
6
d2sp3
Octahedral
[Co(CN)6]3-

               Dalam pengisian electron pada orbital hibrida, orbital dan orbital hibrida dapat dilambangkan dengan kotak, lingkaran atau garis mendatar, sedangkan electron dilambangkan dengan tanda anak panah naik ke atas (  ) apabila memiliki spin + ½ , dan tandah anak panah ke bawah (   ) memiliki spin -1/2.

2.3  Pembentukan Senyawa Kompleks
Pembentukan senyawa kompleks berdasarkan teori ikatan valensi ada yang tidak melibatkan proses eksitasi dan ada  yang melibatkan proses eksitasi.

Ø  Pembentukan  Senyawa Kompleks Tanpa Melibatkan Proses Eksitasi.
Pembentukan senyawa kompleks tanpa melibatkan proses eksitasi, langkah-langkah yang diperlukan adalah :
1.      Menuliskan konfigurasi elektron dari atom pusat pada keadaan dasar.
2.      Menuliskan konfigurasai elektron dari atom pusat pada keadaan hibridisasi
3.       Menuliskan konfigurasai elektron dari atom pusat sesudah adanya donasi pasangan-pasangan elektron bebas dari ligan-ligan.

Contoh pembentukan kompleks dengan bilangan koordinasi 2-6 tanpa melibatkan proses eksitasi.
Contoh 1 : [Ag(CN)2]-
               Berdasarkan asas energetika, tingkat energi dari kompleks [Ag(CN)2]- adalah paling rendah apabila tolakan antara dua ligan CN- minimal. Hal ini terjadi apabila dua ligan CN- posisinya berlawanan, sehingga kompleks [Ag(CN)2]- memiliki struktur linear. Fakta eksperimen membuktikan hal tersebut. Disamping itu, ion [Ag(CN)2]- bersifat diamagnetik. Oleh karena itu pembentukan kompleks ini melibatkan hibridisasi sp.
Konfigurasi elektron :
Ion Ag+ (keadaan dasar) : [Kr]
                          4d          5s             5p
            Ion Ag+ (hibridisasi) : [Kr]
          


                                         Hibridisasi sp

Ion Ag+ dalam [Ag(CN)2]- : [Kr]


                                        2 PEB dari 2 ligan CN-
                Sifat diamagnetik dari kompleks [Ag(CN)2]- ditunjukan dengan berpasangnys semua  electron yang terdapat pada atom pusatnya.
Contoh 2 : [AgBr(PPh3)2]
                 Berdasarkan asas energetika, tingkat energi dari kompleks  [AgBr(PPh3)2] adalah paling rendah apabila tolakan antara dua ligan PPh3 dan sebuah ligan Br-. Hal ini terjadi apabila tiga ligan tersebut posisinya sejauh mungkin, yaitu terletak pada pojok-pojok trigonal planar, sehingga kompleks [AgBr(PPh3)2] memiliki struktur trigonal planar. Fakta eksperimen membuktikan hal tersebut. Disamping itu, kompleks [AgBr(PPh3)2] bersifat diamagnetic. Oleh karena itu pembentukan kompleks ini melibatkan hibridisasi sp2.
Konfigurasi elektron   :
  Ion Ag+ (keadaan dasar) : [Kr]

              4d                      5s             5p
            Ion Ag+ (hibridisasi) : [Kr]
         

                                         Hibridisasi sp2
Ion Ag+ dalam [AgBr(PPh3)2] : [Kr]


                         3 PEB dari 1 ligan Br- dan 2 ligan PPh3
Sifat diamagnetik dari [AgBr(PPh3)2] ditunjukan dengan telah berpasangannya semua elektron yang terdapat pada atom pusatnyanya.
Contoh 3 : [NiCl4]2-
             Berdasarkan asas energetika, tingkat energy dari kompleks [NiCl4]2- adalah paling rendah apabila tolakan antara empat ligan Cl- minimal. Hal ini terjadi apabila empat ligan tersebut posisinya sejauh mungkin, yaitu terletak pada pojok-pojok tetrahedral, sehingga kompleks [NiCl4]2- adalah bersifat paramagnetic yang kemagnetikannya setara dengan adanya dua electron yang tidak berpasangan. Oleh karena itu pembentukan kompleks ini melibatkan hibridisasi sp3.
Konfigurasi elektron   :
  Ion Ni2+ (keadaan dasar) : [Ar]
         3d                      4s             4p
            Ion Ni2+ (hibridisasi) : [Ar]
          


                                                  Hibridisasi sp3

Ion Ni2+ dalam [NiCl4]2- : [Ar]


                                        4 PEB dari 4 ligan Cl-    
Sifat paramagnetik dari ion [NiCl4]2- ditunjukan dengan adanya 2 elektron yang tidak  berpasangan pada orbital 3d atom pusat
Contoh 4 : [CuCl5]3-
              Berdasarkan asas energetika, tingkat energy dari kompleks [CuCl5]3- adalah paling rendah apabila tolakan antara lima ligan Cl- minimal. Hal ini terjadi apabila lima ligan tersebut posisinya sejauh mungkin, yaitu terletak pada pojok-pojok trigonal bipiramidal, sehingga kompleks [CuCl5]3- adalah meimiliki strruktur trigonal bipiramidal. Fakta eksperimen membuktikan hal tersebut. Disamping itu, ion [CuCl5]3-  bersifat paramagnetic yang kemagnetikannya setara dengan adanya sebuah electron yang tidak berpasangan. Oleh karena itu pembentukan kompleks ini melibatkan hibridisasi sp3d.
Konfigurasi electron   :
  Ion Cu2+ (keadaan dasar) : [Ar]
              3d                      4s             4p
            Ion Cu2+ (hibridisasi) : [Ar]
          


                                         Hibridisasi sp3



Ion Cu2+ dalam [CuCl5]3- : [Ar]


                                        5 PEB dari 5 ligan Cl-
                   Sifat paramagnetik dari ion [CuCl5]3- ditunjukan dengan adanya sebuah elektron yang tidak  berpasangan pada orbital 3d atom pusatnya.
       
          Contoh 5 : [FeCl6]3-
              Berdasarkan asas energetika, tingkat energi dari kompleks [FeCl6]3- adalah paling rendah  apabila tolakan antara enam ligan Cl- minimal. Hal ini terjadi apabila enam ligan tersebut posisinya sejauh mungkin, yaitu terletak pada pojok-pojok oktahedral. Fakta eksperimen membuktikan hal tersebut,sehingga kompleks [FeCl6]3- memiliki struktur octahedral. Disamping itu, ion [FeCl6]3-  bersifat paramagnetic yang kemagnetikannya setara dengan adanya lima electron yang tidak berpasangan. Oleh karena itu pembentukan kompleks ini melibatkan hibridisasi sp3d2.
Konfigurasi elektron   :
  Ion Fe3+ (keadaan dasar) : [Ar]
             3d                      4s             4p                     4d
            Ion Fe3+  (hibridisasi) : [Ar]
          


                                            Hibridisasi sp3d2
Ion Fe3+ dalam  [FeCl6]3- : [Ar]


                                          6 PEB dari 6 ligan Cl-
Sifat paramagnetic dari ion [FeCl6]3-  ditunjukan dengan adanya lima electron yang tidak berpasangan pada orbital 3d atom pusatnya
Contoh 6 : [CoF6]3-
              Berdasarkan asas energetika, tingkat energy dari kompleks [CoF6]3- adalah paling rendah  apabila tolakan antara enam ligan F- minimal. Hal ini terjadi apabila enam ligan tersebut posisinya sejauh mungkin, yaitu terletak pada pojok-pojok oktahedral. Fakta eksperimen membuktikan hal tersebut,sehingga kompleks [CoF6]3- memiliki struktur octahedral. Disamping itu, ion [CoF6]3-  bersifat paramagnetic yang kemagnetikannya setara dengan adanya empat electron yang tidak berpasangan. Oleh karena itu pembentukan kompleks ini melibatkan hibridisasi sp3d2.

Konfigurasi elektron   :
  Ion Co3+ (keadaan dasar) : [Ar]
             3d                      4s             4p                      4d
            Ion Co3+ (hibridisasi) : [Ar]
          


                                             Hibridisasi sp3d2
Ion Cu2+ dalam [CuCl5]3- : [Ar]


                                     6 PEB dari 6 ligan Cl-
       Sifat paramagnetic dari ion [CuCl5]3-  ditunjukan dengan adanya empat electron yang tidak berpasangan pada orbital 3d atom pusatnya.
    Berdasarkan contoh-contoh 1-6 dapat disimpulkan bahwa pada pembentukan kompleks yang tidak melibatkan proses eksitasi dihasilkan kompleks yang selalu bersifat paramagnetic atau diamagnetic. Suatu kompleks selalu bersifat paramagnetic apabila atom pusatnya memiliki elektron dengan jumlah ganjil.

Ø  Pembentukan Senyawa Kompleks Dengan Melibatkan Proses Eksitasi
Dalam menjelaskan pembentukan senyawa kompleks atau kompleks yang melibatkan proses eksitasi.  Langkah-langkah yang diperlukan adalah :
1.      Menuliskan konfigurasi electron dari atom pusat pada keadaan dasar;
2.      Menuliskan konfigurasi electron dari atom pusat pada keadaan eksitasi;
3.      Menuliskan konfigurasi electron dari atom pusat pada keadaan hibridisasi;
4.      Menuliskan konfigurasi electron dari atom pusat sesudah adanya donasi pasangan-pasangan electron bebas (PEB) dari ligan-ligan.
Berikut diberikan beberapa contoh pembentukan kompleks dengan bilangan koordinasi empat dan enam yang melibatkan proses eksitasi

Contoh 7 : ion [Ni(CN)4]2-
            Berdasarkan asas energetika tolakan antara empat ligan CN- adalah minimal apabila empat ligan tersebut terletak pada pojok-pojok tetrahedral. Fakta eksperimen menunjukan bahwa ion [Ni(CN)4]2- memiliki struktur bujur sangkar, bukannya tetrahedral. Hal ini disebabkan oleh adanya penstabilan kompleks akibat terbentuknya ikatan balik (back bonding) yang akan diuraikan pada subbab 6.6 dihalaman 120. Fakta eksperimen lainnya adalah ion [Ni(CN)4] bersifat diamagnetic. Oleh karena itu pembentukan kompleks ini melibatkan hibridisasi dsp2.
 Konfigurasi elektron   :
  Ion Ni2- (keadaan dasar) : [Ar]
             3d                      4s             4p                     
            Ion Ni2- (eksitasi) : [Ar]
          
Ion Ni2- (hibridisasi) : [Ar]


                                Hibridisasi dsp2
Ion Ni2- dalam [Ni(CN)4]2- : [Ar]
 

                                    4 PEB dari 4 ligan CN-
Sifat diamagnetik ion [Ni(CN)4]2- ditunjukan dengan berpasangannya semua elektron yang ada.
*Tingkat energy atom pusat setelah mengalami eksitasi adalah lebih tinggi dibandingkan tingkat energinya pada keadaan dasar. Hal ini disebabkan oleh tiga hal :
*      Akibat hilangnya energy penstabilan. Pada keadaan dasar, dua electron tidak berpasangan dengan spin yang sama pada orbital-orbital degenerate dapat melakukan tukar-menukar tempat. Energy yang terlibat dalam proses tersebut disebut energy pertukaran (exchange  energy) yang dapat menstabilkan sisitem yang ada. Penstabilan karena pertukaran tempat ini analog dengan penstabilan akibat adanya resonansi. Setelah dua  electron tersebut berpasangan maka pertukaran tempat antara dua electron tersebut tidak dapat terjadi. Pestabilan hilang dan tingkat energy atom pusat menjadi lebih tinggi.
*      Diperlukannya energy untuk membalik spin salah satu electron agar mereka pada waktu berpasangan tidak melanggar larangan Pauli.
*      Dua electron yang dipasangkan adalah bermuatan negative, sehingga ketika mereka dipasangkan timbul tolakan. Untuk mengatasi tolakan ini maka dua electron itu harus dipaksa berpasangan. Hal ini memerlukan sejumlah energy.
Contoh 8 : [Fe(NH3)6]3+
Berdasarkan asas energetika, tingkat energy dari kompleks [Fe(NH3)6]3+ adalah Paling rendah apabila tolakan antara empat ligan NH3 adalah minimal apabila empat ligan tersebut terletak pada pojok-pojok oktahedral. Fakta eksperimen menunjukan bahwa ion [Fe(NH3)6]3+  memiliki struktur octahedral. Fakta eksperimen menunujukan hal tersebut. Disamping itu, ion [Fe(NH3)6]3+  bersifat paramagnetic yang kemagnetikannya setara dengan adanya sebuah electron yang tidak berpasangan.Hal ini menunjukan bahwa pada pembentukan kompleks tersebut terjadi eksitasi electron. Oleh karena itu pembentukan kompleks ini melibatkan hibridisasi d2sp3.
Konfigurasi elektron :                                          3d                   4s                     4p
Ion Fe3+ (keadaan dasar) : [Ar]
Ion Fe3+ (eksitasi)                      : [Ar]
Ion Fe3+ (hibridisasi)                  : [Ar]  

                                                                                  Hibridisasi d2sp3
Ion Fe3+ dalam [Fe(NH3)6]3+ : [Ar]
                                                                                      6 PEB dari 6 ligan NH3

          Sifat paramagnetik ion [Fe(NH3)6]3+ ditunjukan dengan adanya sebuah elektron yang tidak berpasangan pada orbital 3d atom pusatnya.


2.4  Prinsip Keelektronetralan Dan Ikatan Balik.
            Berdasarkan teori ikatan valensi, pada pembentukan kompleks terjadi donasi pasangan electron dari ligan- ligan ke atom pusat. Ditinjau dari konsep muatan formal, donasi tersebut dapat menyebabkan terjadinya penimbunan muatan negative pada atom pusat yang dapat mengakibatkan kompleks menjadi tidak stabil. Misalnya pada reaksi pembentukan iion kompleks [CoL6]2+ dengan L merupakan ligan netral.
            Secara teoritis donasi enam pasangan electron bebas dari enam ligan L pada ion Co2+ menyebabkan pada [CoL6]2+ atom Co memiliki muatan formal sebesar -4. Seandainya muatan formal sesunguhnya dari atom Co sebesar -4 maka kompleks yang terbentuk dapat bersifat tidak stabil. Pauling (dalam huheey et.al., 1993: 393) menyatakan bahwa Co dalam [CoL6]2+ tidak akan sampai memliki muatan formal sebesar -4 bagi kestabilan kompleks yang tidak menguntungkan bagi kestabilan kompleks. Hal ini disebabkan atom donor yang terdapat pada ligan, misalnya atom O, N dan halogen, merupakan atomyang keelektronegatifannya besar jika dibandingkan dengan atom pusat. Perbedaan keeletronegatifan ini menyebabkan pasangan electron ikatan antara atom pusat dan atom donor lebih tertarik ke ligan, sehingga mengakibatkan timbulnya muatan persial positif pada atom Co dan muatan persial negative pada ligan sebagai konsekoensinya muatan formal positif atom pusat berkurang, atau atom pusat mungkin muatan formalnya menjadi nol(netral) kecendrungan atom pusat dalam kompleks untuk memiliki muatan formal yang harganya nol atau negative rendah merupakan petunjuk praktis untuk menerangkan penyebab kstabilan suatu kompleks, dan disebut dengan prinsip keelektronetralan. Pauling telah melakukan perhitungan semi kuantitatifberkaitan dengan muatan atom pusat dan kestabilan suatu kompleks. Beberapa hasilnya diberikan pada tabel 4.

Tabel 4 muatan atom-atom pada bebera kompleks
[Be(H2O)4]2+
[Be(H2O)6]2+
[Al(H2O)6]3+
[Al(NH3)6]3+
Be=-0,08
4O=-0,24
8H=2,32
Be=-1,12
6O=-0,36
12H=3,84
Al=-0,12
6O=-0,36
12H=3,48
Al=-1,08
6N=1,20
18H=2,88
Total=+2,00
Total=+2,00
Total=+3,00
Total=+3,00

            Dari beberapa kommpleks yang diberikan pada tabel 4, [Be(H2O)4]2+ dan [Al(H2O)6]3+ dapat dianggap stabil, sedangkan [Be(H2O)6]3+ dan [Al(NH3)6]3+ adalah tidak stabil. Empat molekul air pada [Be(H2O)4]2+ dapat menetralkan muatan 2+ dari berilium, sedangkan enam molekul air pada [Be(H2O)4]2+ menyebabkan berilium memiliki muatan formal -2. Kaidah muatan formal menyatakan bahwa suatu spesies dengan atom-atom memiliki muatan formal nol adalah lebih stabil dibandingkan spesies yang atom-atomnya memiliki muatan formal dengan harga positif atau negatif. Berdasarkan kaidah tersebut maka [Be(H2O)4]2+ bersifat stabil sedangkan [Be(H2O)6]2+ bersifat tidak stabil.
            Secara teoritis atom Al pada kompleks[Al(H2O6)6]3+ dan [Al(NH3)6]3+ memiliki muatan formal sebesar -3. Karena keelektronegatifan atom nitrogen lebih besar dibandingkan keelektronegatifan atom aluminium maka pasangan electron ikatan lebih kuat tertarik ke atom oksigen atau atom nitrogen dibandingkan ke atom aluminium, sehingga muatan formal negative atom aluminium pada dua kompleks  di atas berkurang. Karena keelektronegatifan O > N maka muatan parsial positif yang  timbul pada atom Al yang disebabkan oleh ligan H2O haragnya lebih tinggi dibandingkan muatan parsial yang disebabkan  oleh ligan NH3. Muatan formal atom Al pada kompleks [Al(H2O)6]3+ lebih mendekati nol dibandingkan muatan formal Al pada kompleks [Al(NH3)6]3+. Akibatnya [Al(H2O)6]3+ bersifat stabil sedangkan [Al(NH3)6]3+ bersifat tidak stabil.
            Pada kompleks yang atom donornya memiliki keelektronegatifan yang rendah, misalnya  atom donor karbon pada ligan CO, penstabilan kompleks berdasarkan prinsip keelektronegatifan yang tidak dapat diterapkan karena pasangan electron ikatan dapat dianggap  tertarik sama kuat ke atom pusat dan ke atom donor. Misalnya pada kompleks [Ni(CO)4], secara teoritis muatan formal atom nikel adalah -4 sehingga [Ni(CO)4] seharusnya bersifat tidak stabil. Fakta eksperimen menunjukkan bahwa kompleks tersebut bersifat stabil. Sumber kestabilan tersebut adalah adanya kemampuan dari ligan CO untuk menerima pasangan  elektron dari atom Ni.
            Pada resonansi di atas, berapa pun besarnya kontribusi struktur kanonis II  terhadap hibrida resonansi dari kompleks [Ni(CO)4], rapatan electron akan bergeser dari atom nikel ke atom oksigen sehingga mengurangi muatan formal negative dari atom nikel. Pengurangan muatan formal negative pada atom nikel menyebabkan kompleks  [Ni(CO)4] bersifat stabil.
            Elektron yang didonasikan oleh atom nikel ke atom karbon digunakan untuk membentuk ikatan balik (back bonding ). Ikatan balik merupakan ikatan π. Ikatan balik ini dapat terjadi karena simetri orbital d dari atom nikel adalah cocok dengan simetri orbital p dari atom karbon atau simetri orbital π*. Dari ligan CO. Dengan perkataan lain, ikatan balik ini dapat terjadi karena tanda fungsi gelombang orbital d dari atom nikel adalah cocok dengan tanda fungsi gelombang orbital p dari atom karbon atau tanda fungsi gelombang orbital π*. Dari ligan CO. Berdasarkan teori ikatan valensi pembentukan ikataan balik melibatkan tumpang tindih antara orbital p dari atom karbon brdasarkan teori orbital molekul pembentukan ikatan balik melibatkan tumpang tindih antara orbital d atom nikel dengan orbital π*. Dari ligan CO.
            Pembentukan ikatan balik berdasarkan teori ikatan valensi memerlukan tersedianya  orbital p dari atom karbon. Orbital p dapat disediakan apabila salah satu dari dua ikatan π antara atom karbon dan atom oksigen putus, sehingga ikatan antara dua atom tersebut digambarkan sbagai ikatan rangkap dua.
            Pembentukan ikatan balik berdasarkan teori orbital molekul dengan tingkat energy terendah yang tidak ditempati oleh electron dari karbon monoksida. Diagram orbital molekul sederhana karbon monoksida. diperoleh bahwa orbital molekul dari karbon monoksida dengan tingkat energy terendah yang tidak ditempati oleha electron adalah orbital π2p*.
                  Berdasarkan teori orbital molekul pada waktu membntuk ikatan balik ligan CO menggunakan orbital π2p*. Karena diagram orbital molekul monoksida menunjukkan orde ikatan CO adalah 3. Maka pada gambar 6.6 (b) ikatan antara atom karbon dan oksigen digambarkan se bagai ikatan rangkap tiga.  
       I.            Sifat magnetik senyawa kompleks
      Electron sebagai partikel yang memiliki massa tertentu pada waktu bergerak akan menghasilkan momentum linear (P) yang harganya merupakan hasil kali dari massa dan kecepatan geraknya. Apabila elektron yang digambarkan dengan titik hitam mengorbit iinti atom pada bidang xy, berlawanan arah dengan putaran jarum jam, seperti ditunjukkan pada gambar 6.8 (a), pada waktu electron berada pada sumbu x, ia akan memiliki momentum linear.
Py =m.vy                 
                                                                                                                                       
Dengan P, merupakan momentum linear electron yang arahnya searah dengan sumbu y, m massa electron dan v, kecepatan gerak electron yang arahnya sejajar dengan sumbu y.
Apabila electron pada bidang xy, searah dengan putaran jarum jam, seperti ditunjukkan pada gambar 6.8(b),pada waktu electron berada pada sumbu x, ia akan memiliki momentum linear.
P(-y) = m.v(-y)
Dengan   P(-y) merupakan momentum linear electron yang arahnya searah dengan sumbu –y, m massa electron dan v (-y) kecepatan gerak electron yang arahnya sejajar dengan sumbu –y.
Di samping momentum linear, pergerakan electron yang mengorbit inti atom seperti pada gambar 6.8 (a) akan menghasilkan momentum sudut (Lz) yang searah dengan sumbu z.
                        Lz = Py . lx = m . vy . lx
Dengan lx merupakan jarak electron ke inti atom.pergerakan electron yang mengorbit inti atom seperti pada gambar 6.8 (b) akan menghasilkan momentum sudut (Lz) yang searah dengan sumbu –z.
            Lz = Py . lx = m . v (-y) . lx






Pergerakan elektron seperti pada gambar 6.8 (a) dan(b) menghasilkan momentum sudut yang besarnya sama tetapi berlawanan arah.
Sebagai Partikel yang bermuatan negative, pada waktu electron mengorbit inti atom seperti pada gambar 6.8 akan dihasilkan momen magnetic yang arahnya berlawanan dengan arah momentum sudutnya seperti ditunjukan pada gambar 9.






Apabila dua elektron berpasangan maka satu electron mengorbit inti atomseperti pada gambar, sedangkan electron yang lain mengorbit initi atom seperti pada gambar. Momen magnetik yang dihasilkan adalah sama besar tetapi berlawanan arah. Akibatnya dua ekektron yang berpasangan ini memiliki momen magnetic total yang harganya nol.
Dalam atom, selain mengorbit inti atom, elektron juga berotasi di sekitar sumbu rotasinya, misalnya sumbu z, seperti pada gambar 6.10.  Apabila dua elektron berpasangan maka sebuah elektron melakukan rotasi barlawanan dengan putaran jarum jam, elektron yang lain melakukan rotasi searah dengan putaran jarum jam. Rotasi yang arah putaran berlawanan dengan putaran jarum jam akan menghasilkan momen magnetik yang arahnya kebawah. (gambar 6.10(a)). Sedangkan rotasi yang searah dengan putaran jarum jam akan menghasilkan momen magnetik yang arahnya ke atas (gambar 6.10b). momen magnetik yang dihasilkan adalah sama besar tetapi arahnya berlawanan. Akibatnya dua elektron yang berpasangan ini memiliki momen magnetik total, akibat rotasi di sekitar sumbu rotasinya, yang harganya nol.
Momen magnetic terukur yang dimiliki oleh suatu kompleks disebut momen magnetik efektif(µe). momen magnetik yang dimiliki oleh suatu kompleks merupakan hasil interaksi dari momen magnetik yang ditimbulkan akibat orbital elektron-elektron disekitar inti atomnya dengan momen magnetik yang ditimbulkan akibat rotasi  elektron-elektron di sekitar sumbu rotasinya. Suatu kompleks yang memiliki momen magnetic efektif yang harganya nol dikatakan bersifat diamagnetic. Kompleks ini di tolak oleh medan magnetic eksternal. Suatu kommpleks yang memiliki momen magnetic efektif yang harganya lebih besar dari nol dikatakan bersifat paramagnetic. Kompleks ini ditarik oleh medan magnetic eksternal. Dalam eksperiemen besarnya momen magnetic efektif suatu zat dapat diukur dengan menggunakan neraca magnetic Gouy seperti ditunjukan pada gambar 6.11.
Sampel yang akan di ukur kemagnetannya dimasukan dalam tabung dan ditentukan beratnya dalam keadaan medan magnet eksternal tidak bekerja seperti pada gambar 6.11a. Kemudian medan magnet eksternal dihidupkan. Apabila sampel bersifat paramagnetic maka ia akan ditarik oleh medan magnetic eksternal sehingga berat sampel seolah-olah bertambah seperti pada gambar 6.11b. Dalam keadaan medan magnetic eksternal bekerja, neraca disetimbangkan dengan menambahkan berat anak timbangan seperti pada gambar 6.11c. selisih berat anak timbangan dapat di konversi ke harga momen magnetik yang merupakan harga momen magnetik efektif sampel. Apabila sempel bersifat diamagnetik maka ia akan ditolak oleh medan magnetik eksternal sehingga beratnya seolah-olah berkurang.
Momen magnetik yang di timbulkan akibat rotasi elektron-elektron di sekitar sumbu rotasinya harganya lebih besar di bandingkan momen magnetik yang ditimbulkan akibat orbit elektron-elektron di sekitar inti atomnya. Kontribusi momen magnetik yang ditimbulkan akibat orbit elektron-elektron si sekitar inti atomnya terhadap momen magnetik efektif suatu kompleks sering kali diabaikan, khususnya untuk kompleks dengan atom pusat unsur-unsur transisi deret pertama. Momen magnetik yang hanya ditimbilkan akibat rotasi elektron-elektron di sekitar sumbu rotasinya di sebut momen magnetik spin(µs). besarnya momen magnetik spin suatu kompleks tergantung pada banyaknya elektron tidak berpasangan yang terdapat pada atom pusat suatu kompleks. Harga momen magnetik spin dapat di hitung berdasarkan persamaan:
            µs = [n(n + 2)]1/2
dengan n merupakan jumlah elektron tak berpasangan yang terdapat pada atom pusat suatu kompleks; harga µs dinyatakan dengan satuan Bohr Magnetons (BM). Dengan demikian maka apabila elektron-elektron yang ada pada atom pusat  suatu kompleks berpasangan semua, momen magnetik spinnya berharga nol dan kompleks yang bersangkutan dianggap bersifat diamagnetik. Sebaliknya, apabila pada atom pusat Ti3+ suatu kompleks ada elektron-elektron yang tidak berpasangan maka momen magnetik spinnya harganya lebih besar dari nol dan kompleks yang bersangkutan bersifat paramagnetik. Harga momen magnetik spin suatu kompleks bertambah dengan semakin banyaknya elektron tak berpasangan yang terdapat pada atom pusat suatu kompleks. Harga momen magnetic efektif dan momen magnetic spin kompleks dengan atom pusat unsur-unsur transisi derer perrtama diberikan pada tabel 5









Atom pusat
J.ê.pada atom pusat
Kompleks dengan spin tingi
Kompleks dengan spin rendah
J.e.t.b.
µe(BM)
µs(BM)
J.e.t.b.
µe(BM)
µs(BM)
Ti3+
V4+
V3+
V2+
Cr3+
Mn4+
Cr2+
Mn3+
Mn2+
Fe3+
Fe2+
Co3+
Co2+
Ni3+
Ni2+
Cu2+

1
1
2
3
3
3
4
4
5
5
6
6
7
7
8
9
1
1
2
3
3
3
4
4
5
5
4
4
3
3
2
1
1,73
1,68-1,78
2,75-2,85
3,80-3,90
3,70-3,90
3,8-4,0
4,75-4,90
4,90-5,00
5,65-6,10
5,70-6,0
5,10-5,70
_
4,30-5,20
_
2,80-3,50
11,70-2,20
1,73
1,73
2,83
3,88
3,88
3,88
4,90
4,90
5,92
5,92
4,90
4,90
3,88
3,88
2,83
1,73
_
_
_
_
_
_
2
2
1
1
_
_
1
1
_
_
_
_
_
_
_
_
3,20-3,30
3,18
2,0-2,5
_
_
1,8
1,8-2,0
_
_
_
_
_
_
_
_
2,83
2,83
1,73
1,73
_
_
1,73
1,73
_
_

Keterangan: J.e = jumlah electron; J.e.t.b = jumlah electron tak berpasangan
Harga momen magnetik efektif dan momen magnetik spin kompleks dengan atom pusat unsur-unsur transisi deret pertama diberikan pada tabel 6.5 atas

Data pada tabel diatas menunjukan bahwa kontribusi momen magnetik yang ditimbulkan akibat orbital elektron-elektron di sekitar inti atomnya terhadap momen magnetik efektif suatu kompleks adalah kecil. Di samping itu, dapat dilihat bahwa momen magnetik yang ditimbulkan akibat orbital elektron-elektron di sekitar inti atomnya dapat memperbesar atau memperkecil harga momen magnetik efektif suatu kompleks

2.5  Kelemahan Teori Ikatan Valensi

Sebagaimana diuraikan di depan bahwa suatu kompleks dapar bersifat paramagnetik atau diamagnetik. Suatu kompleks bersifat diamagnetik apabila memiliki harga momen magnetik efektif nol, dan bersifat paramagnetik bila memiliki harga momen magnetikefektif lebih besar dari nol.
Sampai sekitar tahun 1943 teori ikatan valensi merupakan satu-satunya teori yang digunakan oleh para pakar kimia anorganik dalam menerangkan struktur dan kemagnetan senyawa kompleks. Di samping itu, teori ini dapat digunakan untuk meramalkan kemungkinan struktur dan kemagnetan senyawa-senyawa kompleks yang belum disintesis. Fakta eksperimen tentang senyawa-senyawa kompleks yang baru berhasil disintesis ternyata banyak yang cocok dengan ramalan yang didasarkan atas teori ikatan valensi. Meskipun demikian, teori ini memiliki beberapa kelemahan, yaitu:
1.      Tidak dapat menjelaskan gejala perubahan kemagnetan senyawa kompleks karena perubahan temperatur.
2.      Tidak dapat menjelaskan warna atau spektra senyawa kompleks.
3.      Tidak dapat menjelaskan kestabilan senyawa kompleks.











BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
            Berdasarkan uraian materi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa :
*      Teori ikatan valensi merupakan teori mekanika kuantum pertama yang muncul pada masa awal penelitian ikatan kimia yang didasarkan pada percobaan W. Heitler dan F. London pada tahun 1927 mengenai pembentukkan ikatan pada molekul hidrogen. Selanjutnya, teori ini kembali diteliti dan dikembangkan oleh Linus Pauling pada tahun 1931 sehingga dipublikasikan dalam jurnal ilmiahnya yang berjudul “On the Nature of the Chemical Bond”. Dalam jurnal ini dikupas hasil kerja Lewis dan teori ikatan valensi oleh Heitler dan London sehingga menghasilkan teori ikatan valensi yang lebih sempurna dengan beberapa postulat dasarnya.
*      Berdasarkan teori ini senyawa koordinasi dianggap terbentuk dari reaksi antara asam Lewis (atom pusat) dengan basa Lewis (ligan-ligan) melalui ikatan kovalen koordinasi diantara keduannya. Didalam senyawa koordinasi atau senyawa kompleks, atom pusat memiliki bilangan koordinasi tertentu.
*      Pembentukan senyawa kompleks berdasarkan teori ikatan valensi ada yang tidak melibatkan proses eksitasi dan ada  yang melibatkan proses eksitasi.
*      Senyawa Kompleks dapat dibedakan menjadi senyawa kompleks dengan orbital dalam dan senyawa kompleks dengan orbital luar.
*      Berdasarkan teori ikatan valensi, pada pembentukan kompleks terjadi donasi pasangan electron dari ligan- ligan ke atom pusat. Ditinjau dari konsep muatan formal, donasi tersebut dapat menyebabkan terjadinya penimbunan muatan negative pada atom pusat yang dapat mengakibatkan kompleks menjadi tidak stabil.
*      Disamping memiliki kelebihan teori ikatan valensi juga memiliki beberapa kekurangan, diantaranya :
1.      Tidak dapat menjelaskan gejala perubahan kemagnetan senyawa kompleks karena perubahan temperatur.
2.      Tidak dapat menjelaskan warna atau spektra senyawa kompleks.
3.      Tidak dapat menjelaskan kestabilan senyawa kompleks
DAFTAR PUSTAKA


Brady, James. 1999 . Kimia Universitas. Binarupa Aksara:Jakarta.
Fessenden dan Fessenden. 1986. Kimia Ikatan. Erlangga:Jakarta.
Pire, Stanley. 1988. Kimia Ikatan 1. ITB:Bandung.
Respati. 1987. Pengantar Kimia Ikatan Jilid 3.Aksara Baru: Jakarta
Suminar, Hart.1990. Kimia Ikatan Suatu Kuliah Singkat. Erlangga:Jakarta.

4 komentar: